Dr. Eng. Retno Supriyanti, ST, MT, dosen jurusan teknik elektro Fakultas Sainstek Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, berhasil membuat alat dan software untuk mendeteksi dini penyakit katarak.
Katarak adalah perubahan lensa mata yang seharusnya jernih dan tembus pandang menjadi keruh, akibatnya objek yang dilihat menjadi kabur dan meyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas.
Normalnya lensa mata jernih. Bila terjadi proses katarak, lensa menjadi buram seperti kaca susu. Apabila proses ini dibiarkan, maka lama kelamaan mata akan mengalami kebutaan.
Katarak terjadi secara perlahan-lahan, sehingga penglihatan terganggu secara beragam sesuai tingkat kekeruhan lensa. Katarak tidak menular dari satu mata ke mata yang lain, namun dapat terjadi pada kedua mata secara bersamaan.
Saat ini, biasanya dokter spesialis mata menggunakan slit-lamp ataupun optalmoskop. Pada umumnya dokter spesialis mata akan menggunakan alat ini untuk menentukan jenis, kekeruhan dan letak dari katarak, serta untuk membedakannya dari penyakit mata lain yang mempunyai gejala mirip dengan katarak.
Alat yang ditemukannya terbilang sederhana, karena menggunakan kamera digital. “Temuan ini dari hasil desertasi saya di Nara Institute of Science and Technology, Jepang, bersama tim,” kata Retno saat paparan di gedung rektorat Unsoed Purwokerto (13/2).
Ia melanjutkan, metode tersebut sudah mendapatkan dua patent, yaitu dari Japan Patent dengan nomor 2008-035367 dan International Patent dengan nomor PCT JP2009/52572.
Investor dari patent tersebut adalah satu tim yang terdiri dari Dr Eng Retno Supriyanti ST MT, Hitoshi Habe DInfo, Prof Masatsugu Kidode, dan Prof Satoru Nagata.
Hasil temuan tersebut dilirik banyak konglomerat untuk diproduksi secara massal. Tawaran tak hanya datang dari konglomerat asal Indonesia saja, tapi juga dari konglomerat Jepang dan Cina.
Retno mendiskusikan tawaran dari konglomerat Indonesia tersebut, dengan anggota tim penemu lain yang seluruhnya berasal dari Nara Institute of Science and Technology (NIST) , Jepang. ”Sampai saat ini, Bu Retno memang belum melakukan negoisasi secara langsung dengan konglomerat tersebut, tapi tawaran itu sudah ada,” kata Humas Keluarga Alumni Unsoed, Alief Einstein.
Menurutnya, meski temuan itu disebutkan sebagai temuan tim dari NIST, namun temuan itu sejatinya memang hasil rekayasa teknologi yang dilakukan Retno. Hal ini karena desertasi program doktoral di NIST yang dibuat Retno, menyangkut pembuatan alat deteksi dini katarak, dengan judul desertasi Cataract Screening Techniques under Limited Health Facilities.
Alat tersebut, kata Retno, sudah dipraktekkan untuk bakti sosial di Desa Gemuruh, Kecamatan Padamara, Purbalingga.
No comments:
Post a Comment