Headlines News :
Home » , , » Marginalisasi Seni Jemblung di Banyumas

Marginalisasi Seni Jemblung di Banyumas

Written By abah lc on Friday, February 10, 2012 | 1:22 PM


 Saptono, Dosen PS Seni Karawitan
http://www.isi-dps.ac.id

1.Latar Belakang
Banyumas merupakan wilayah eks-Karesidenan, meliputi Kabupaten:
Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purbalingga. Dalam ini tidak hanya meliputi
kewilayahan yang bersifat geografis, ekonomi, sosial, historis, tetapi juga budaya yang
masing-masing memiliki keterikatan satu dengan yang lainnya. Ikatan kesamaan itu
memiliki konsekwensi bagi keselarasan dalam pembangunan yang satu dengan lainnya,
saling mengikat, saling mendukung dan saling mengisi (Surono, 2002)
Masyarakat Banyumas juga cukup dikenal kalau logat bahasa (dialek) bicaranya
ngapak-ngapak. Misalnya lumrahnya orang Jawa Tengahan (Solo, Jogja, Semarang, dan
sekitarnya) berbicara „sopo’ baca ‘sopo’ padahal tulisannya ‘sapa’artinya ‘siapa’, dan
anehnya masyarakat Banyumas sendiri tidak tahu persis apa itu artinya ngapak-ngapak.
Intinya logat bahasa dan budaya masyarakat Banyumas apa adanya (blakblakan),
membaca dalam kontek bahasa daerah (Jawa) sesuai dengan tulisannya. Misalnya
berbicara ‘sapa’ baca ‘sapa’ karena tulisannya ‘sapa’ dan artinya ‘siapa’.
Budaya “Banyumasan” meliputi wilayah eks-Karesidenan Banyumas, sampai
kabupaten Kebumen. Dengan demikian tidak mengherankan kalau dialek dan budayanya
ada yang sama, karena secara historis daerah Gombong, Karanganyar, dan Kebumen
pernah masuk wilayah Banyumas. Sedangkan akhiran kata “an” di belakang nama daerah
(Banyumas) adalah untuk lebih mempersempit cirikhasnya seni tradisi daerahnya, di luar
tembok keraton (kesenian rakyat?)
2
Banyumas juda daerah yang cukup kaya dengan ragam dan bentuk keseniannya,
atau banyak kalangan seniman di Jawa sering menyebutnya dengan kesenian
Banyumasan. Adapun jenis-jenis kesenian yang pernah maupun masih hidup di daerah
ini, diantaranya: Angguk, Aplang, Baladewan, Begalan, Braen, Buncis, Dagelan, Dames,
Daeng, Ebeg, Lengger, Calung, Gending Banyumasan (karawitan), Manongan,
Pedalangan (wayang), Rengkong, Sintren, Ujungan, dan Jemblung (Soedjarwa
Soedarma, dalam Saptono, 2004, p.21-30). Dari sekian jenis kesenian tersebut di atas,
saat ini juga banyak jenis-jenis kesenian yang baru muncul dan cukud digandrungi oleh
masyarakat pendukungnya. Namun demikian dalam ini penulis ingin membahas pada
salah satu jenis kesenian yaitu Seni Jemblung.
Jemblung adalah salah satu bentuk kesenian tradisional dari daerah Banyumas
yang biasanya dimainkan oleh empat orang pemain, dan pertunjukannya mengandalkan
kemahiran bertutur. Istilah „Jemblung‟ sampai saat ini tidak ada yang mengetahui secara
pasti. Seni dan Budaya Banyumas (bagian 3) DISBUDPAR Banyumas, dalam SUARA
MERDEKA bahwa kata „Jemblung‟ merupakan jarwo dosok yang berarti jenjem-jenjeme
wong gemblung (rasa tenteram yang dirasakan oleh orang gila). Pengertian ini
diperkirakan bersumber dari tradisi pementasan Jemblung yang menempatkan pemain
seperti layaknya orang gila. Sumber lain menyebutkan istilah „Jemblung‟ berasal dari
kata „gemblung‟ yang artinya „gila‟. Pengertian ini cukup bisa diterima, karena saat
pertunjukan berlangsung sang dalang berakting seperti orang „gila‟ (Petra Christian,
dalam Genta Campus Magazine University Surabaya).
Pertunjukan Jemblung merupakan bentuk sosio drama yang mudah dicerna
masyarakat luas. Pada prinsipnya pertunjukan ini dapat dipentaskan dimana saja disegala
3
tempat, seperti di balai-balai rumah atau di panggung. Para pemain Jemblung yang hanya
melibatkan 4 (empat) orang seniman, dalam pementasannya tanpa properti artistik, sangat
dibutuhkan kemahiran dan kekompakannya didalam menghidupkan suasana pertunjukan.
Dalam pertunjukannya, pemain jemblung duduk di kursi menghadap sebuah meja yang
berisi hidangan yang sekaligus menjadi properti pementasan dan sebagai santapan
mereka saat pertunjukan berlangsung. Semua hidangan ditaruh diatas tampah, kecuali
wedang (minuman; kopi, teh, air putih) ditaruh diluar tampah . Hidangan tersebut antara
lain: jajan pasar yaitu aneka kue yang biasa dijual di pasar tradisional, kemudian ada
buah pendem seperti jenis ubi-ubian yang sudah dimasak, pisang, nasi gurih, dan
minuman; wedang teh, kopi, dan wedang bening (air putih).
Dalam hal ini cerita yang disajikan juga bukan saja dari cerita babad atau
perembon, umar maya-umar madi, kaena terkadang mengambil dari cerita wayang
purwo. Cara menyajikan cerita dengan gaya tanya jawab sendiri tanpa iringan gamelan
dan wayang. Misalnya dalam salah satu adegan pertunjukan Jemblung, sang dalang
mendodog meja kemudian disambut instrumen kendang selanjutnya masuk repertoar
gending sampak atau srempegan yang semua menyajikannya dengan mulut. Jalannya
sajian gending atau lagu tersebut secara musikal, musisi tahu prinsip-prinsip dasarnya
(konvensi) karawitan yang kemudian secara dinamika akan dibarengi dengan aksenaksen
instrumen gamelan, seperti; kendang, bonang, gong, vokal tembang, dan
sebagainya. Dalam ini bilamana musisi akan menyantap makanan, mereka mengambil
salah satu makanan yang ada didepannya, dengan irama lagu tersebut mereka akan
memberikan aksen pada instrumen kendang, dan jika makanan di tangannya sudah siap
4
disantap mereka akan beralih megang instrumen gong dan dibarengi dengan memasukan
makanan ke dalam mulutnya (sambil mengunyah sambil menyuarakan ide musikal).
Dalam penyajiannya, dimana seorang musisi akan memainkan lebih dari empat
atau lima instrumen gamelan sekaligus dengan cara berpindah-pindah/melompat dari satu
instrumen ke instrumen lainnya, sesuai dengan nafas, aksen-aksen dan tapsir garap serta
ide musikal dalam repertoar gending (lagu) yang dibutuhkan. Misalnya disamping
musisi menyuarakan instrumen kendang, mereka kadang-kadang melompat untuk
memainkan saron, kenong, kempul, gong, dan sebagainya walaupun mereka tidak selalu
urut dari instrumen mana yang didahulkan. Begitu juga dengan musisi lain mereka akan
memainkan instrumen bonang, suling, siter,gambang, gong.
Kekhasan dan keunikan penyajian Jemblung inilah yang tidak didapatkan pada
bentuk dan jenis kesenian-kesenian di daerah lain. Sebagai kesenian rakyat, Jemblung
memiliki daya tarik luar biasa. Tidak salah kalau Jemblung kerap dijadikan media
propaganda bagi kepentingan-kepentingan tertentu. Ini yang disayangkan oleh Hardjo
Parman (65), seniman Jemblung. Sehingga pernah, para pelaku (seniman) Jemblung
tersandung batu tajam, saat menjelang peristiwa G 30 S PKI, karena Seni Jemblung
dijadikan mesin propaganda PKI dan akibatnya sejumlah dalang dan pelaku Jemblung
dijebloskan ke penjara (Sup. dalam Horison Indosiar.com). ). Kemudian di era 70-an
seniman jemblung patut bersyukur, karena saat itu Jemblung dijadikan media penerangan
di desa-desa.
Namun seiring dengan gonjang-ganjing politik di tanah air, nasib jemblung
kembali terpuruk ketika rezim Orde Baru tumbang, terutama dengan dibubarkannya
5
Departemen Penerangan. Sejak saat itu, Seni Jemblung kembali dipayungi awan kelabu
hingga kini.
2. Konsep
Konsep digunakan sebagai pendukung analisis sehingga bisa memberikan bingakai
analisis sesuai dengan permasalahan yang diangkat. Koentjaraningrat (1994), bahwa
konsep adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Dengan
demikian konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, sehingga konsep
menentukan adanya variabel-variabel dimana kita menentukan hubungan empiris.
Konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Dalam hal ini konsep Seni
Jemblung (unsur-unsusr seni jemblung) sebagai sistem, sistem Seni Jemblung konteksnya
dengan masyarakat; sejarah (kemunculan) seni Jemblung, keeksisan dan tidak eksisnya
seni Jemblung di dalam masyarakatnya.
Habermas menjelaskan arti krisis dalam dunia drama misalnya, menurut
pengertian teori seni sejak Aristoteles sampai Hegel dimengerti sebagai titik balik dari
sebuah proses nasib. Nasib adalah suatu yang objektif, tetapi tidak begitu saja “menimpa”
dari luar orang yang mengalaminya (Budiman, 1993: 141). Dalam prespektif ini krisis
(tidak eksis) Seni Jemblung bisa dilihat dari fenomena objektif sekaligus internal. Dengan
kata lain bisa dilihat dengan dua paradigma; dunia kehidupan dan sistem
3. Kerangka Teori
Untuk memberi arah bagi pembahasan masalah yang rencana akan diteliti dengan
beberapa teori; Funsional Struktural, Semoitika, Estetika.
6
Metodologi
Dari sekian banyak jenis kesenian yang ada di daerah Banyumas, penulis akan
fokus pada “Seni Jemblung” dengan mempertemukan berbagai disiplin, antara lain;kajian
teater, antropologi, etnomusikologi, folkore, semiotika, sejarah, dan kritik. Untuk
menekankan pertunjukan suatu proses atau mewujudud didalam ruang, waktu, konteks
sosial dan budaya masyarakat pendukungnya.
Hal ini yang membuat perhatian penulis, sehingga ada keinginan untuk mengungkap
Jemblung (kesenian Jemblung) dan mengkaji secara lebih mendalam, dengan harapan
„rasa open’ (mengambil, memiliki, merawat), dan kritis untuk menjadikan Jemblung
bukan saja sebagai sajian auditif, tetapi sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi;
penggalian, penemuan, penafsiran, pemahaman, pemaknaan, dan pengartikulasian
terhadap proses terbentuknya karya Jemblung, dan aspek-aspek yang melingkupinya
(politik budaya, keberpihakan, kapitalisasi, hegemoni ideologi).
Sebagai suatu kajian budaya, telah memiliki karakteristik/ciri-ciri tertentu yang
biasanya dapat didefinisikan dari segi tujuan yang harus dicapai.
(a) yang termasuk teks; medium sebagai penyampaian teks ( dan peristiwa budaya)
dengan mulut yaitu Jemblung
(b) yang disebut konteks; bahwa setiap peristiwa atau kejadian, situasi itu tidak dalam
vakum atau kosong, tetapi kebudayaan terjadi dalam seluruh bentuk kompleksnya
dalam konteks sosial historis tertentu dan politik, yang dapat direkonstruksikan
secara total. Bahwa dalam ini Seni – konteksnya dengan masyarakat
pendukungnya.

Daftar Pustaka
Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto, 1996
Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Djelantik, AA Made, 1990
Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I Estetika Instrumen. Denpasar: STSI
Denpasar.
-------------------------1992
Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid II Falsafah Keindahan dan Kesenian.
Denpasar: STSI Denpasar.
Giddens, Anthony, Daniel Bell, Michael Forse, etc, 2004
Sosiologi: Sejarah dan Bebagai Pemikirannya. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Hadi, P Hardono. Cq. Kenneth T. Gallagher, 1994
Epistemologi (Filsafat Pengetahuan). Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi, 1993
Menuju Masyarakat Komunikatif (Penj.). Yogyakarta: Kanisius
Kaplan, David dan Albert A. Mannes,1999
Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat, 1993
Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Edisi ketiga. Jakarta. PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Lauer, H. Robert, 2003
Prespektif Tentang Perubahan Sosial. Edisi kedua. Jakarta: PT. Rineka
Putra.
Pudenta, MPSS, 1998
Metodologi Kajian Tradisi Lisan (ed). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Ritzer, George, 2003
Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Salim, Agus, 2002
Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
8
Saptono, 2004
Jemblung Musik Mulut Ala Banyumasan, dalam BHERI. Jurnal Ilmiah
Musik Nusantara. Denpasar: ISI. Denpasar.
Sobur, Alex, 2003
Semiotika Komunikasi.Bandung; PT.Remaja Rosdakarya.
Sutrisno, Mudji dan Chris Verhaak, 1993
Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius
Sudikan, Setya Yuwana, 2001
Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya. Unesa Unipress bekerjasama
dengan Citra Wacana.
Share this article :

No comments:

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2011. purwokerto dan sekitarnya - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger